“Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”
– Presiden USA , Abraham Lincoln –
Prolog
Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat luas, terdiri dari berbagai suku bangsa, berbagai kekayaan alam, yang penggabungan semuanya itu membentuk manusia yang berbeda pula. Tidak dapat dipungkiri, kita sungguh berbeda. Berbagai alat persatuan seringkali diusahakan. Mulai dari Pancasila hingga lagu wajib nasional. Namun, tetap saja perang antar suku, atau perang antar agama masih saja menghantui kita.
Lantas, Negara seperti apa yang kita mimpikan? Mungkinkah kita memimpikan hal yang sama dengan Abraham Lincoln?
Pada awal kemerdekaan, bapak pendiri bangsa ini tampaknya bermimpi sama dengan Lincoln. Soekarno sang penganut Marhaenisme –sosialisme ala Indonesia- menginginkan tiap-tiap rakyat Indonesia memiliki peranan dalam menentukan nasib bangsanya. Mengacu pada apa yang dikatakan Lincoln, maka model pemerintahan yang memungkinkan adalah pembagian kekuasaan hasil pemikiran Montesquieu.
Seperti menurut Montesquieu, perlu adanya perwakilan rakyat yang dapat memantau kinerja pemerintah berdasarkan suara rakyat. Oleh karena itu lahirlah lembaga DPR untuk menyuarakan suara rakyat pada eksekutif yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam fungsi legislasi dan kontrol.
Masalah kepartaian
Sejak sebelum kemerdekaan, rakyat Indonesia telah mengenal partai. Saat itu partai adalah alat berserikat dan berkumpul untuk memperjuangkan kemerdekaan. Tentunya tiap partai memiliki suatu landasan dan pandangan berlainan. Namun saat memperjuangkan kemerdekaan, tujuan mereka satu, yaitu merdeka.
Saat ini, lembaga representasi yang bertugas membawa suara rakyat terdiri dari perwakilan partai-partai. Sistem perwakilan berdasarkan partai memang sudahlumrah tampaknya di dunia, apalagi Negara dengan sejuta perbedaan di Indonesia.
Pada awalnya, politik representasi kepartaian dibentuk karena pemikiran bahwa dalam satu partai terjadi pandangan yang sama tiap-tiap anggotanya. Anggota partai merupakan mereka yang memiliki kepercayaan terhadap azas partai atau sepakat dengan pemimpin partai. Akankah rakyat Indonesia terwakilkan? Berjuta permasalahan selalu membayangi politik representasi kepartaian.
Pertama, tidak semua Warga Negara Indonesia aktif berpolitik melalui partai. Seringkali seseorang tidak sepakat terhadap partai baik itu dari azas, budaya partai, atau sosok partai. Oleh karena itu, rakyat yang tidak berkecimpung dalam partai otomatis suaranya tidak dapat disampaikan kepada dewan.
Kedua, tiap-tiap anggota partai belum tentu memiliki pandangan yang sama. Seringkali dalam suatu partai terjadi perbedaan pendapat dan terjadi konflik. Dapat disimpulkan bahwa suara seorang wakil partai tidak mewakili suara keseluruhan partai. Hal ini diperburuk dengan fenomena mengedepankan sosok untuk memenangkan pemilu yang terbukti ampuh dalam beberapa pemilu Indonesia. Artis yang bukan merupakan kader suatu partai, tidak memiliki suatu pandangan yang rigid terhadap politik dan ketika ia duduk di dewan atas dukungan suatu partai, apa yang hendak disuarakan sementara pandangan tidak punya.
Ketiga, penurunan makna sepakat dalam pencoblosan. Selama ini, dalam suatu pemilu mencoblos merupakan tanda sepakat pada suatu partai. Sehingga perwakilan dari suatu partai dapat bersuara di dewan karena “sepakat” dari rakyat merupakan pernyataan delegasi dari rakyat. Namun rendahnya mutu pendidikan dan kesulitan ekonomi menyebabkan rendahnya tingkat kesadaran sehingga sistem demokrasi langsung tidak bekerja dengan baik. Saat ini, semudah itu kata “sepakat” keluar setelah serangan fajar, janji-janji kampanye, dan sosok yang tampak baik.
Tiga permasalahan di atas membuat kualitas dewan perwakilan jauh dari yang dicita-citakan.
Merajut kembali lubang menganga
Prof. Miriam Budiarjo mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok terorganisir yang anggotanya memiliki orientasi, nilai, dan cita-cita yang sama. Parpol dibentuk untuk memperoleh kekuasaan politik sehingga mampu menjalankan kebijakan.
Mengacu pada definisi di atas, seharusnya partai menerapkan sistem kaderisasi yang baik sehingga tiap-tiap anggota partai memiliki pandangan yang sama sehingga perwakilan dari suatu partai mewakili seluruh anggota partai. Pada era orde lama, partai memiliki ideologi tertentu dan setiap anggota merupakan mereka yang sepakat dengan ideologi tersebut. Sistem kepartaian berdasarkan ideologi akan menghasilkan partai yang kuat dan berkarakter.
Dalam rangka mewujudkan cita-cita dan memperoleh kekuasaan politik melalui suara rakyat dalam pemilu, seharusnya partai melaksanakan fungsi sebagai berikut :
1. Sosialisasi dan rekrutmen politik
Untuk menggalang suara rakyat, parpol seharusnya mensosialisasikan pandangan dan cita-cita kepada rakyat luas. Dari sini, akan direkrut sejumlah masyarakat yang sepakat untuk kemudian dikader dan menjadi agen sosialisasi politik.
2. Komunikasi politik
Parpol yang seyogyanya terdiri dari mereka yang satu paham dan satu suara seharusnya menjadi agen penyuara suara rakyat yang tergalang kepada pemerintah.
3. Manejemen konflik
Parpol-parpol yang memiliki berbagai pandangan berbeda seharusnya dapat menjadi kritik pembangun sistem dan menghasilkan sintesa yang lebih baik dari thesis sebelumnya.
Namun, untuk kepraktisan dalam rangka memenangi pemilu, seringkali berbagai cara diusahakan termasuk serangan fajar hingga pencalonan artis.
Menyongsong masa depan
Pemilu presiden tinggal menghitung bulan. Adalah suatu dosa besar bagi kita –mahasiswa yang konon kaum intelektual- ,yang memiliki tingkat kesadaran di atas rata-rata , memilih calon tanpa pikir panjang apalagi tidak memilih sama sekali.
Pilihan telah tersaji, selanjutnya tinggal menelaah mana yang sesuai dengan selera anda.
Oleh : Ujang Sapri